Silapedia – Pancasila dan Sukarno adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya mesti terus digandengkan di setiap konteks diskursus Pancasila ataupun Sukarno. Mengapa demikian? Sebab Pancasila adalah karya monumental Sukarno, dan Sukarno sendiri ialah penggali atau perintis utama dan pertama hingga pada perumusan dan pengesahan Pancasila menjadi Dasar Negara Indonesia.
Sukarno disebut sebagai penggali Pancasila, sebab dialah yang menemukan Pancasila sebagai filsafat negara (philosophische grondslag), pandangan hidup (weltanschauung), dan ideologi negara. Para tokoh Bangsa lainnya, seperti Mohammad Hatta dan M. Yamin, di dalam tulisannya juga mengakui bahwa Sukarno adalah satu-satunya penggali Pancasila. Dan Sila Kebangsaan merupakan temuan pertama yang kemudian ditempatkan pada Sila Pertama dalam Pidato 1 Juni 1945 pada sidang BPUPKI dan Sila Kedua pada Kursus Pancasila 1958.
Oleh karena itu, tulisan ini difokuskan pada Sila Kebangsaan saja. Alasannya tidak lain karena kebangsaan merupakan gagasan pertama dan “induk” dari semua rangkaian sila dalam Pancasila yang digali langsung oleh Sukarno. Jadi, bagi penulis konsep kebangsaan Sukarno sangat urgen untuk dikaji dan ditulis kembali di era kini.
Selain itu, tulisan ini juga meminjam periodisasi yang dikemukakan oleh Yudi Latif dalam bukunya, Wawasan Pancasila (2018: 29). Di buku ini, disebutkan tiga fase yang melintasi dalam proses penggalian dan pergumulan Pancasila menjadi sebuah Dasar Negara, yaitu: fase perintisan (penggalian), fase perumusan, dan fase pengesahan.
Fase Penggalian
Dalam buku, Lahirnja Panjtasila (1947: 24) disebutkan bahwa diskursus kebangsaan Sukarno pertama kali diperoleh tatkala sekolah di HBS (Hogere Burger School) di Surabaya 1916. Namun di balik ‘pertemuan’ gagasan kebangsaan Sukarno tersebut, ia diawali sebuah proses pergulatan intelektual yang sengit antara pengaruh pemikiran kosmopolitanisme dan kebangsaan.
Perkenalan Sukarno dengan konsep kebangsaan ketika membaca buku, Dr. Sun Yat Sen, “San Min Chu I” atau “The Three People’s Principles” pada 1918. Buku inilah yang membuka pikiran Sukarno dari pengaruh paham kosmopolitanisme anti kebangsaan yang diajarkan oleh A. Baars, seorang sosialis, pada 1917 di HBS. Kata A. Baars kepada Sukarno, “Djangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanoesiaan sedoenia, djangan mempoenjai rasa kebangsaan sedikitpoen”.
Melalui buku Dr. Sun Yat Sen (Mantan Presiden Republik Tiongkok), Sukarno memiliki pengetahuan kebangsaan yang mumpuni sebagai kekuatan dalam mendekonstruksi pengaruh paham kosmopolitanisme yang diindoktrinasi oleh A. Baars pada dirinya. Terhadap buku Dr. Sun Yat Sen tersebut, Sukarno sangat bersyukur dan mengatakan, “…Alhamdoelillah, ada orang lain jang memperingatkan saja,–ialah Dr. Sun Yat Sen! di dalam toelisannja “San Min Chu I” atau “The Three People’s Principles”, saja mendapat peladjaran jang membongkar kosmopolitanisme jang diadjarkan oleh A. Baars itoe. Dalam hati saja sedjak itoe tertanamlah rasa kebangsaan…”.
Masa ini, merupakan titik balik pergulatan pemikiran Sukarno yang mulai terpikat dengan gagasan kebangsaan. Dari sinilah, ia mulai mendalami dan mengaji dengan tekun teori-teori kebangsaan dari berbagai ahli atau pemikir, seperti Ernest Renan, Otto Bauer, Karl Haushofer, dan sebagainya.
Perkenalan Sukarno dengan pemikiran para ahli kebangsaan di atas melalui H.O.S Tjokroaminoto, Pemimpin Sarekat Islam. Sukarno mengkaji teori kebangsaan para ahli tersebut langsung dari H.O.S Tjokroaminoto di saat Sukarno tinggal atau indekos di rumahnya. Dari H.O.S Tjokroaminoto, Sukarno tidak saja menimba ilmu kebangsaan, melainkan juga mempelajari khasanah keilmuan Islam, sosialisme, dan demokrasi yang kala itu dominan digandrungi tokoh-tokoh pergerakan revolusi.
Spirit intelektualitas Sukarno dalam menggali gagasan kebangsaan tidak berhenti di Surabaya. Ia terus galakkan sampai ke Bandung, di saat melanjutkan studi di THS (Technische Hoge School) yang sekarang dikenal sebagai ITB (Institut Teknologi Bandung). Di Bandung, tepatnya 1925-1926, Sukarno begitu memusatkan pikirannya pada teori kebangsaan Ernest Renan dan Otto Bauer (meskipun juga terpikat teori atau ideologi Islamisme dan Marxisme). Terbukti dengan tulisan Sukarno yang dimuat di majalah “Indonesia Moeda” yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.
Di sini Sukarno tidak menerima secara take for granted teori kebangsaan dari kedua ahli tersebut, tetapi ia juga mengiritiknya. Misalnya, Ernest Renan, seperti yang dikutip Sukarno dalam bukunya, Pantjasila Dasar Filsafat Negara mengatakan bangsa adalah kehendak untuk hidup Bersama (Le desir d’etre Ensembel). Sedangkan menurut Otto Bauer, bangsa adalah persatuan karakter dan watak yang tumbuh karena persatuan pengalaman. Kedua teori ini, di mata Sukarno belum sempurna jika persatuan itu tidak dibangun di atas satu wilayah geopolitik yang satu kesatuan, seperti Indonesia.
Fase Perumusan
Gagasan Kebangsaan Sukarno terus diasah dan diinternalisasi menjadi sebuah ideologi yang tertanam kuat dalam jiwa Sukarno. Bahkan di saat ia diasingkan ke Ende, pulau terpencil di Flores, gagasannya tentang kebangsaan terus ia matangkan.
Menurut Yudi Latif dalam bukunya Wawasan Pancasila (2018: 33) Sukarno di Ende mendapatkan waktu luang untuk merenungkan berbagai pemikiran, termasuk pemikiran kebangsaan. Dari sini ia mantapkan konsepsinya tentang “sosio-nasionalisme” yang terilhami dari pemikiran Mahatma Gandhi, “my nationalism is humanity”.
Terdapat kurang lebih 27 tahun Sukarno menggali dan mengkaji konsep kebangsaan yang dipelopori oleh para pemikir Barat dan Timur hingga kemudian menemukan titik puncaknya pada 1945. Titik puncak ini digapai ketika fase perumusan Pancasila mulai mengemuka di kalangan tokoh pendiri bangsa.
Fase perumusan Pancasila sendiri mulai dilakukan pada masa pendudukan Jepang. Di mana pemerintah Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia melalui pembentukan lembaga Dokuritsu Junbi Cusakai atau dikenal BPUPKI yang diketuai oleh Dr. RadjimanWediodiningrat. Lewat BPUPKI inilah Pancasila dirumuskan para pendidiri bangsa dalam sidang 29 Mei hingga 1 Juni 1945.
Dalam sidang BPUPKI tersebut, Sukarno mendapat kesempatan terakhir berpidato, dari 30-an tokoh bangsa telah terlebih dahulu menyampaikan gagasannya tentang Dasar Negara Indonesia. Sukarno mengemukakan rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia pada 1 Juni 1945, yang kemudian menjadi hari kelahiran Pancasila yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila.
Dalam pidato tersebut, Sukarno menyampaikan rancangan dasar negara di hadapan para anggota BPUPKI. Di buku Lahirja Pantjasila, Sukarno begitu bersemangat mengemukakan pidatonya, bahwa Indonesia yang akan merdeka harus berdiri di atas sebuah dasar negara, yang Sukarno sebut sebagai philosophische grondslag dan weltanchauung. Dan dasar negara itu adalah kebangsaan, yang kemudian Sukarno meletakkannya pada dasar negara yang pertama atau sila pertama. Kebangsaan bagi Sukarno bukan kebangsaan yang masing-masing pulau berdiri sendiri, dan bukan pulah chauvinisme, melainkan kebangsaan yang bulat dan satu nationale staat.
Setelah sidang BPUPKI berakhir, dibentuklah Panitia Kecil/Panitia Delapan yang beranggotakan delapan orang dan diketuai oleh Sukarno untuk bertugas menyusun rumusan dasar negara Indonesia. Akan tetapi, di waktu yang hampir sama, tepatnya 22 Juni 1945, Sukarno berinisiatif membentuk Panitia Sembilan, dengan alasan Panitia Delapan tidak seimbang antara golongan nasionalis dengan islamis.
Hasil musyawarah Panitia Sembilan tersebut disepakati rancangan preambul (Piagam Jakarta) yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila tidak sama dengan pidato Sukarno 1 Juni 1945. Selain prinsip kebangsaan mengalami perubahan di dalamnya, juga dasar negara yang menurut Syaiful Arif, sebelumnya bersifat inklusif menjadi eksklusif yang ditandai dengan ditambahkannya “tujuh kata di belakang kata ketuhanan”, yaitu: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Karena perumusan Pancasila bersifat kompromi (konsensus), maka prinsip kebangsaan mengalami beberapa perubahan di dalamnya, di antaranya, urutan dan kata dan makna kebangsaan. Dari segi urutan, Sila Kebangsaan yang tadinya berada pada sila pertama, lalu dipindahkan ke sila ketiga. Sedangkan dari segi perubahan kata dan makna, di sila ketiga, bukan lagi bertuliskan “Kebangsaan Indonesia” tetapi “Persatuan Indonesia”.
Perubahan urutan, bagi Sukarno tidaklah masalah. Hal ini diakui Sukarno dalam bukunya, Pantjasila Dasar Filsafat Negara (1958). Namun perubahan “kebangsaan” menjadi “persatuan” sepertinya mereduksi makna kebangsaan yang universal menjadi parsial. Hal ini juga disampaikan Mohammad Hatta dalam bukunya, Pengertian Pancasila (1977: 18) mengatakan, “Sesungguhnya sila Kebangsaan Indonesia lebih dalam artinya, karena rasa kebangsaan dengan sendirinya meliputi rasa persatuan”. Selain itu, perubahan tersebut juga seakan “melukai” perjuangan Sukarno dalam menggali konsep kebangsaan menjadi dasar negara Indonesia. Meskipun faktanya, Sukarno sendiri menerima rumusan itu, karena sekali lagi, Pancasila menjadi dasar negara dirumuskan secara kompromistik.
Fase Pengesahan
Fase pengesahan adalah fase di mana Pancasila disahkan menjadi Dasar Negara Indonesia. Fase ini setidaknya ditandai dengan ditandatanganinya Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia pada pertemuan Panitia Sembilan yang dibentuk dan diketuai oleh Sukarno.
Adapun susunan urutan dan redaksi Pancasila Piagam Jakarta (the Jakarta Charter) yang disahkan oleh Panitia Sembilan, yaitu: (1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, (2) kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, (5) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Piagam Jakarta lantas diamandemen oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin Sukarno sebagai ketua dan Mohammad Hatta sebagai wakil ketua pada 18 Agustus 1945. Perubahan tersebut dilakukan karena dinilai diskriminatif dan tidak adil terhadap warga non-Muslim yang khususnya berada di wilayah Indonesia bagian Timur. Dan Mohammad Hatta merupakan tonggak utama atas perubahan tersebut, seperti yang disebutkan Suyuthi Pulungan di bukunya, Dialektika Islam, Negara, dan Pancasila (2019: 208) di mana Mohammad Hatta mengusulkan empat perubahan dalam Piagam Jakarta, yaitu: (1) kata “Mukaddimah” diganti dengan kata “Pembukaan”, (2) kalimat “Berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dirubah menjadi “Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, (3) Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret, (4) pasal 29 ayat 1 menjadi “negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Jadi, amandemen Piagam Jakarta yang dilakukan oleh PPKI seperti yang disebutkan di atas tidaklah menyentuh pada susunan urutan dalam Pancasila dan juga tidak mengubah kembali redaksi “Sila Persatuan Indonesia” menjadi “Sila Kebangsaan Indonesia”.
Suardi Kaco
Dosen Universitas Al-Asyariah Mandar, Redaksi Majalah Silapedia