“Mingkar mingkure angkoro;
Akarana krenan mardi siwi;
Sinawung rezmining kidung; Sinubo sinukaato;
Mrih kretarto pakartining ngelmu luhur:
Kang tumprap neng tanah Jowo;
Agomo Ageing”
Bait pembuka serat Wedhatama ini menyiratkan bahwa bertuhan adalah napas kehidupan manusia yang ada di bumi Nusantara. Spirit berketuhanan ini tercermin dalam berbagai ragam sebutan terhadap Tuhan. Kepercayaan Kapitayan yang ada di Jawa menyebutnya Shang Hyang Tunggal, suatu dzat yag tidak tersentuh oleh indera dan tidak terjangkau oleh akal (tan keno kinoyo ngopo). Masyarakat Sunda Wiwitan menyebut-Nya Batara Tunggal, Batara Jagat (Penguasa Alam) yang tidak berwujud atau gaib sehinga disebut juga Batara Seda Niskala.
Dalam kepercayaan masyarakat Bugis Kuno, sebagaimana tertulis dalam kitab I’lagaligo, nama Tuhan disebut dengan Dewata Seuwai yang berarti Tuhan Yang Satu. Masyarakat Batak Toba menyebut Tuhan dengan Debata Mulajadi Nabolon, yaitu Sang Pencipta dan Pemula, Genesis, atau “Yang Bermula dari Dirinya”. Dalam masyarakat Dayak dikenal sebutan Ene’ Daniang atau Jubata, penguasa jagad raya beserta isinya. Dan beberapa sebutan lain yang dimiliki oleh setiap kelompok masyarakat yang ada di Nusantara. Jiwa ketuhanan inilah yang melahirkan berbagai ritus dan upacara keagamaan. Semua ini mencerminkan khittah bangsa Nusantara sebagai bangsa yang bertuhan.
Ketika agama-agama besar dunia; Buddha, Hindu, Islam dan Nasrani masuk ke Nusantara dan bertemu dengan sistem kepercayaan yang ada, maka spirit ketuhanan ini makin bertambah kokoh. Sakralitas Tuhan yang termanifestasi dalam ajaran agama dijaga secara kuat dengan memberikan tempat yang mulia bagi para pemimpin agama. Para wiku, bikhu, Brahamana, bedande, ulama, kyai dan pendeta menjadi sosok penting dalam struktur kekuasaan negara. Mereka berperan sebagai penasehat para pemimpin negara (raja) sekaligus menjadi penerang bagi umat dalam meniti kehidupan.
Selain itu, untuk menjaga spirit berketuhanan, para raja dan pemimpin negara di Nusantara juga memberikan perhatian dan pelayanan kepada umat dalam kehidupan keagamaan. Sebagaimana tercermin dalam Pupuh 83 – 91 Kakawin Negara Kretagama yang menggambarkan kepedulian Raja Majapahit Kertanegara terhadapan kehidupan umat beragama. Hal ini dibuktikan dengan pendirian lembaga untuk melayani kebutuhan ummat beragama, pada era Majapahit, seperti Darmadyaksa Kasaiwan untuk urusan agama Hindu, Dharmadyaksa Ring Kasogatan untuk agama Buddha dan Lembaga Raja Pandita untuk melayani keberagamaan umat Islam. Dalam Kitab Amanat Galunggung institusi yang melayani urusan keagamaan disebut “Karesian”, suatu lembaga untuk para resi yang bertugas memberikan bimbingan kepada para ratu sebagai pelaksana pemerintahan.
Ketika Islam Masuk ke Nusantara, sirit berketuhanan semakin bertambah kuat dibuktikan dengan meningkatnya peran agama dalam menata kehidupan sosial. Hal ini dibuktikan dengan semakin kuatnya hubungan antara ulama dengan pemimin negara. Sebagaimana tercermin dalam keberadaan lembaga Walisongo yang menjadi penasehat para sultan. Pola ini terus berlangsung pada era kepemimpinan para sultan dan raja Islam di Nusantara dengan para ulama dan kyai sebagai elite agama Islam. Jejak-jekak ini bisa dilihat dalam naskah kitab Salokantoro, Anger-anger Suryongalam, Kitab Bustanussalatin dan Tajussalatin dan sejenisnya.
Pentingnya lembaga keagamaan sebagai ekspresi spirit berketuhanan bangsa Nusantara ini disadari oleh pemerintah kolonial. Untuk memenuhi dan melayani kebutuhan umat beragama pemerintah kolonial Belanda membentuk Priesterraad, yaitu lembaga peradilan agama dan mengangkat para ulama sebagai hakim agama atau Qadhi. Di zaman pemerintahan kolonial Jepang, lembaga ini tetap dipertahankan dan diubah namanya menjadi Sooyo Hooin. Pemerintahan Jepang juga mendirikan Shumubu, lembaga yang menangani urusan agama. Lembaga ini dipimpin oleh dipimpin oleh KH. Hayim Asy’ari. Shumubu inilah yang kemudian tertranformasi menjadi Kementrian Agama ketika terbentuk NKRI.
Sejarah panjang proses berketuhanan yang dialami oleh bangsa Indonesia inilah yang digali sehingga menjadi inspirasi Sukarno dalam merumuskan Sila Ketuhanan dalam Pancasila. Jejak-jejak sejarah ini mengonfirmasi pernyataan Bung Karno bahwa Pancasila digali dari akar tradisi dan nilai-nilai yang ada dan tumbuh di bumi Nusantara. Dan penggalian ini dilakukan jauh sebelum datangnya agama-agama di Nusantara. Sebagaimana dinyatakan Bung Karno: “Penggalian saya tentang Pancasila, sampai jaman sebelum agama Islam. Saya gali sampai jaman Hindu dan pra-Hindu” (Sukarno, dalam Cindy Adam; 2018).
Pemahaman yang mendalam terhadap akar sejarah berketuhanan bangsa Indonesia inilah yang melahirkan konsep berketuhanan yang berkebudayaan Bung Karno. Konsep ini menjelaskan bahwa bangsa Indonesia harus bertuhan, sesuai dengan Tuhannya masing-masing dan cara bertuhan ini harus dilakukan secara berkeadaban yaitu saling hormat menghormati satu sama lain tanpa ada egoisme agama. Beragama yang berkebudayaan adalah beragama secara akhlaqul karimah yang lebih mengedepankan kemaaslahatan ‘ammah (kebaikan bersama). Di sini Bung Karno tidak saja menjelaskan kerangka etis bertuhan, tetapi sekaligus juga mengingatkan kerangka historis dan fakta empiris yang telah dijalani bangsa Indonesia dalam bertuhan.
Melalui sila Ketuhanan ini NKRI secara tegas mendeklarasikan diri sebagai negara yang berketuhanan yaitu negara yang menjadikan agama sebagai sumber inspirasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan negara sekuler, bukan negara agama. Sila Ketuhanan merupakan jalan tengah dari konfrontasi antara negara sekuler (liberal) dan negara agama (teokrasi). Jalan tegah antara Declaration of Independence (kapitalis-liberal) yang tidak mengandung keadilan sosial dan Manifesto Komunis yang tidak mengandung Ketuhanan. Jalan tengah yang memiliki nilai lebih, yang oleh Bung Karno disebut dengan istilah Hogere Optrakking.
Bisa dikatakan bahwa sila Ketuhanan merupakan hasil ijtihad kebudayaan yang dilakukan Bung Karno yang diamini oleh para ulama dan pemimpin agama. Ijtihad ini dilakukan dengan melihat dan mengkaji secara cermat terhadap akar-akar sejarah dan budaya bangsa Nusantara sebagai ayat kauniyah. Proses berketehunan yang panjang yang telah melahirkan berbagai ragam tradisi, budaya dan sistem nilai inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia memiliki cara-cara yang khas dalam mengekspresikan dan mengamalkan ajaran agamanya. Di sinilah nilai lebih sila Ketuhanan yang ada dalam Pancasila.
Artikel ini dimuat juga di Majalah Silapedia cetak edisi II Februari-Maret 2022