Silapedia.com – Dalam pidato peringatan hari lahir Pancasila pada 1 Juni 2021, Presiden Joko Widodo mengajak kita melakukan pendalaman dan perluasan terhadap Pancasila di tengah tantangan yang semakin meningkat (Kompas.com, 1/6/2021). Pendalaman dan perluasan dilakukan dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak hanya menghadapi Revolusi 4.0, tetapi juga penetrasi ideologi trans-nasional yang makin masif.
Dalam rangka merefleksikan proses pembudayaan Pancasila di tahun 2021 dan proyeksinya di tahun 2022, ajakan Presiden tersebut patut kita jadikan landasan berpikir. Hal ini senada dengan kebijakan terakhir beliau di tahun 2021, yakni penerbitan Peraturan Presiden No. 78/2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dalam pembentukan BRIN, Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Ibu Megawati Soekarnoputri, menjabat secara ex-officio, sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN.
Alasannya, guna menindaklanjuti amanat UU No. 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek). Dalam pasal 5 huruf a dinyatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan berdasarkan Pancasila. Untuk itu, jabatan Ketua Dewan Pengarah tersebut menjadi upaya mengintegrasikan BRIN dan BPIP, sebagai sarana integrasi Pancasila dan iptek. Hal ini juga diperkuat dalam pasal 4 huruf a Perpres BRIN tentang fungsi BRIN yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila.
Tantangan Eksternal
Persoalannya, apakah penetapan Pancasila baik dalam UU Sisnas Iptek maupun Perpres BRIN secara otomatis bisa menguatkan Pancasila sebagai dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan, riset dan teknologi? Inilah tantangan pemerintah. Sehingga, ajakan yang disampaikan Presiden Jokowi, sejatinya melecut semangat beliau sendiri untuk melakukan pendalaman pembudayaan Pancasila. Artinya, pendalaman Pancasila tersebut, terlebih harus dilakukan oleh negara dalam proses pembudayaan yang dilakukan sejak tahun 2016.
Mengapa? Karena pembudayaan Pancasila yang secara legal dimulai sejak terbitnya Keputusan Presiden No. 24/2016 tentang Hari Lahir Pancasila, pendirian Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila berdasarkan Peraturan Presiden No. 54/2017, dan pendirian BPIP berdasarkan Peraturan Presiden No. 7/2018; perlu diperdalam lagi pelaksanaannya. Hal ini disebabkan oleh berbagai tantangan eksternal dan internal.
Secara eksternal, pembudayaan Pancasila masih dipahami secara sektarian. Artinya, upaya pembudayaan Pancasila oleh pemerintah dinilai hanya merupakan kepentingan pemerintah. Hal ini yang membuat Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP) tidak juga dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), padahal sudah masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2021. Tentu kita tidak bisa menoleransi alasan pandemi Covid-19 yang menyebabkan pengabaian terhadap RUU ini, sebab apapun bisa dilakukan secara virtual.
Pengabaian terhadap RUU BPIP menandai problem akut dalam pemahaman bangsa ini terhadap urgensi pembudayaan Pancasila. Pertama, bagi sebagian pihak, pembudayaan Pancasila tidak terlalu urgen karena Pancasila sudah final sehingga tidak perlu dibesar-besarkan. Ada atau tidak ada BPIP, Pancasila akan tetap kokoh sebagai dasar negara. Kedua, karena wacana Pancasila versi pemerintah dianggap hanya mewakili wacana kelompok tertentu. Hal ini tersirat dalam berbagai penolakan terhadap RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) pada 2020, karena RUU tersebut dinilai terlalu “berbau” kaum nasionalis.
Dengan demikian, ketiadaan satu kata atas Pancasila dan urgensi pembudayaannya, telah membayangi upaya Presiden Jokowi dalam melakukan penguatan dasar negara. Satu hal yang patut dikritisi, karena meskipun Pancasila telah final, namun ia justru ditolak oleh sebagian warga negara. Survei Yayasan Mata Air dan Alvara Research Center pada 2017 tetap relevan hingga saat ini. Dalam survei tersebut ditemukan 15,5% kaum profesional, 16,8% mahasiswa, 18,6% pelajar dan 19,4% Aparatur Sipil Negara (ASN) menolak Pancasila karena memilih dasar negara Islam. Persentase ini tentu besar, apalagi penolakan tersebut dilandasi oleh alasan keagamaan.
Sedangkan kecurigaan bahwa wacana Pancasila pemerintah mewakili perspektif kelompok tertentu juga tidak beralasan. Misalnya, penetapan kembali 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, bukan “pesanan” kelompok Soekarnois. Penetapan tersebut murni fakta sejarah yang diamini oleh para pendiri bangsa perumus Pancasila, sejak Bung Hatta, Muhammad Yamin, Achmad Soebardjo, AA Maramis, Radjiman Wedyodiningrat, dll. Sehingga, berbagai upaya pendasaran kembali Pancasila pada akar historisnya, bukan merupakan kepentingan politik, tetapi kebutuhan akademik.
Ketiadaan satu kata terhadap urgensi pembudayaan Pancasila juga tercermin dalam abainya bangsa ini terhadap pendidikan Pancasila. Di tahun 2021, terjadi pengabaian pendidikan Pancasila dalam Peraturan Pemerintah No. 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Hal ini memang dilematis, sebab UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak mewajibkan pendidikan Pancasila, meskipun UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi telah mewajibkannya pada level perguruan tinggi.
Dari kasus PP No. 57/2021 ini terlihat bahwa di internal pemerintahan Jokowi sendiri terjadi ketiadaan koordinasi dalam pembudayaan Pancasila. Pada satu sisi, Presiden sedang bersemangat melakukan penguatan Pancasila. Namun jajaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak menyambutnya dalam kebijakan pendidikan. Hal serupa terjadi pada ketiadaan harmonisasi peraturan perundang-undangan, misalnya antara PP No. 57/2021 dengan UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Belum lagi “dinamika politik” di Senayan, yang membuat RUU BPIP terbengkalai.
Tantangan Internal
Selain tantangan eksternal, terdapat pula tantangan internal yang bahkan belum disadari oleh bangsa ini. Yakni, belum digunakannya pendekatan ilmiah terhadap Pancasila. Hal ini menjadi tantangan bagi pelaksanaan riset dan inovasi berdasarkan Pancasila.
Artinya, ketika Pancasila ingin dijadikan sebagai dasar riset, Pancasila itu sendiri belum didekati dengan metodologi riset berbasis metode ilmiah. Hal ini ditandai dengan ketiadaan, apa yang disebut Eka Darmaputera dalam Pancasila, Identitas dan Modernitas (1997) sebagai “definisi positif” (ortodoksi) tentang Pancasila. Pendefinisian kita terhadap Pancasila melulu “bersifat negatif”, hanya dalam kerangka praktik nilai (ortopraksis) melalui pembedaan Pancasila dengan non-Pancasila. Misalnya, untuk mendefinisikan Negara Pancasila, kita hanya membedakannya dengan negara sekular dan negara agama. Demikian pula ekonomi Pancasila yang “bukan kapitalisme” dan “bukan etatisme-komunis”. Inilah nasib Pancasila sebagai definisi “yang bukan-bukan”.
Definisi positif Pancasila hingga kini belum disusun secara akademik-nasional, karena kita memang tidak memahami Pancasila sebagai ilmu pengetahuan. Itulah yang membuat kita mengabaikan pemikiran Soekarno sebagai “fakta keilmuan” Pancasila, karena kita terlalu menggunakan “paradigma politis” dalam menilai Sang Penggali Pancasila ini. Padahal di semua disiplin ilmu, kita tentu mendasarkan definisi kepada pencetus definisi tersebut. Tentu dalam konteks Pancasila dasar negara, “fakta keilmuan” itu tidak berhenti di Soekarno, tetapi juga pemikiran Bung Hatta dan para perumus Pancasila lainnya.
Ketiadaan pengetahuan yang etimologis (intelektual historis) dan terminologis (intelektual metodologis) inilah yang membuat Pancasila tidak menjadi ilmu pengetahuan. Hal ini pula yang membuat Pancasila, kemungkinan kecil bisa menjadi dasar bagi riset ilmu pengetahuan sebagaimana dimimpikan oleh Presiden Jokowi. Fakta ini pula yang menyiratkan bahwa selama ini kita memahami dan membudayakan Pancasila “secara permukaan”, alih-alih kedalaman. Apakah di tahun 2022 kita bisa melakukan pendalaman? Tergantung keseriusan kita dalam menjawab berbagai tantangan tersebut!
Artikel ini dimuat di www.kompas.id, 31/01/2022