Silapedia.com – Pancasila sebagai living and envolving ideology tentu harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Perkembangan zaman menuntut segala aspek kehidupan masyarakat untuk mengikuti serta memanfaatkan perkembangan zaman. Dalam hal ini, segala sesuatu yang stagnan dan tidak berkembang pasti akan digilas oleh perkembangan zaman. Oleh karena itu, upaya untuk selalu berkembang dan menyesuaikan perkembangan zaman diperlukan dalam berbagai kehidupan manusia.
Upaya untuk menyesuaikan perkembangan zaman juga penting bagi ideologi suatu bangsa dan negara dalam hal ini adalah Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia. Sukarno sebagai penggali dan penggagas Pancasila dalam Kursus Presiden Sukarno tentang Pancasila pada 26 Mei 1958 pernah menegaskan bahwa tiap bangsa punya corak perlawanan yang berbeda dalam mewujudkan kemerdekaan termasuk bentuk musuh dan alat perjuangannya pun berbeda sesuai dengan kondisi dan konteks perjuangan bangsa untuk merdeka. Dalam hal ini, ideologi berfungsi sebagai penuntun dalam melakukan perjuangan dan perlawanan untuk mencapai Indonesia merdeka.
Berdasarkan pandangan Sukarno tersebut, secara implisit menegaskan bahwa pentingnya suatu ideologi untuk dimaknai serta diterapkan secara kontekstual. Hal ini supaya ideologi dapat menjadi pemandu serta mengalir bersama dengan perkembangan zaman.
Milenialisasi Pancasila
Gagasan milenialisasi Pancasila merupakan suatu keharusan untuk menerapkan nilai-nilai Pancasila selaras dengan perkembangan zaman (Prasetio, 2020:12). Terlebih di era revolusi industri yang menekankan adanya digitalisasi di semua aspek kehidupan. Jika dahulu Pancasila dapat dicontohkan dan diterapkan dalam kehidupan nyata, saat ini Pancasila justru diupayakan dan diorientasikan supaya dapat diterapkan di dunia digital. Hal ini diidasarkan pada survei Digital Civility Index (DCI) yang untuk mengukur tingkat kesopanan digital global, hingga awal tahun 2021, Indonesia menduduki peringkat paling bawah di kawasan Asia Tenggara.
Dari total 32 negara yang disurvei Indonesia menduduki peringkat ke-29.
Merosotnya peringkat Indonesia terkait kesopanan digital disebabkan oleh fenomena hoax dan penipuan yang menjadi faktor tertinggi serta memengaruhi tingkat kesopanan orang Indonesia dengan persentase 47 persen. Ujaran kebencian ada di urutan kedua dengan persentase 27 persen, serta diskriminasi sebesar 13 persen. Hasil survei Digital Civility Index (DCI) memberikan gambaran sederhana bahwa terjadi fatamorgana kesopanan di Indonesia. Jika di dunia nyata masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang ramah serta santun, hal ini justru berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di dunia digital. Masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang kejam bahkan terkesan “barbar” di dunia digital.
Hasil survey dari Digital Civility Index (DCI) harus menjadi cermin serta evalusasi bersama terkait tingkat kesantunan masyarakat Indonesia di dunia digital. Menurut hemat penulis, rendahnya terkait tingkat kesantunan masyarakat Indonesia di dunia digital dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: pertama, karakter dunia digital yang menempatkan setiap orang sama dan sederajat tanpa mengetahui latar belakang, umur, dan identitas lainnya berpotensi membuat setiap orang menganggap lawan bicara serta lawan diskusi di dunia digital dianggap layaknya sebagai teman sebaya.
Penganggapan setiap orang sebagai teman sebaya dalam hubungan sosial di dunia digital membuat tergerusnya sikap sopan, santun, serta etika dalam hubungan sosial di dunia digital. Kedua, belum terdapatnya pendidikan serta keteladanan yang efektif dalam bersikap dan bertindak di ruang digital juga memiliki peran rendahnya tingkat kesantunan masyarakat Indonesia di dunia digital. Keteladanan Sukarno, Hatta, serta pemimpin bangsa lainnya serta teladan berbagai tokoh agama identik dengan keteladanan secara faktual, sehingga terdapat kevakuman dalam teladan di ruang digital.
Kevakuman terkait teladan di ruang digital inilah yang perlu diisi dengan pendidikan serta tokoh-tokoh kekinian yang memberikan keteladanan dalam hidup di dunia digital. Terlebih lagi, dunia digital saat ini mayoritas diisi oleh generasi muda yang merupakan generasi penerus bangsa ke depannya. Sehingga, upaya untuk membentuk karakter generasi muda di dunia digital diperlukan sebagai upaya untuk menyelamatkan generasi penerus dari kebobrokan moral di dunia digital.
SAKA PANCASILA
Salah satu aspek terpenting dalam pembentukan karakter pemuda adalah pendidikan kepramukaan. Menurut Pasal 1 angka 4 UU No. 12 Tahun 2010 Tentang Gerakan Pramuka menegaskan bahwa, “Pendidikan Kepramukaan adalah proses pembentukan kepribadian, kecakapan hidup, dan akhlak mulia pramuka melalui penghayatan dan pengamalan nilai-nilai kepramukaan”. Pendidikan kepramukaan juga dilaksanakan di berbagai jenjang pendidikan baik pendidikan dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi. Hal inilah yang menjadi urgensi bahwa pendidikan serta pembinaan ideologi bangsa yaitu Pancasila menjadi hal terpenting untuk dapat dikontekstualisasikan dalam pendidikan kepramukaan.
Selain pendidikan kepramukaan, dalam Gerakan Pramuka juga terdapat satuan karya. Menurut Pasal 1 angka 8 UU No. 12 Tahun 2010 Tentang Gerakan Pramuka menegaskan bahwa, “Satuan Karya Pramuka adalah satuan organisasi penyelenggara pendidikan kepramukaan bagi peserta didik sebagai anggota muda untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan pembinaan di bidang tertentu”. Satuan Karya Pramuka menjadi tempat pengkaderan pemuda dalam bidang-bidang tertentu sesuai dengan bakat dan minat. Nama-nama satuan karya seperti: Saka Bahari, Saka Bakti Husada, Saka Bhayangkara, Saka Dirgantara, Saka Kencana, Saka Taruna Bumi, Saka Wanabakti, Saka Wira Kartika, hingga Saka Pariwisata menghiasi berbagai kegiatan kepramukaan yang diinisiasi oleh para pemuda.
Akan tetapi, satuan karya yang berfokus pada pendidikan dan pembinaan pemuda terkait ideologi bangsa hingga saat ini masih belum ada. Padahal, dengan adanya Saka Pancasila diharapkan dapat meningkatkan kesadaran ideologi Pancasila pada generasi muda termasuk juga upaya penyadaran dan penerapan ideologi Pancasila di dunia digital sebagai dunia yang mayoritas didominasi para pemuda.
Berdasarkan uraian di atas, urgensi dibentuknya Saka Pancasila dalam kegiatan kepramukaan diperlukan sebagai upaya untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila sejak dini terutama kepada para pemuda. Hal ini dapat terwujud apabila terdapat sinergi yang komprehensif antara Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (Kwarnas), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Penulis berharap dibentuknya Saka Pancasila dapat menjadi upaya untuk menumbuhkan pemahaman serta penerapan Pancasila secara kontekstual. Saka Pancasila sebagai upaya milenialisasi Pancasila diharapkan dapat membentuk sikap, karakter, serta kepribadian generasi muda sesuai dengan nilai-nilai Pancasila baik di dunia faktual maupun di dunia digital.