SIlapedia.com – Pada tanggal 2 Februari 2022, Pemimpin Umum Majalah Silapedia, Syaiful Arif, mengadakan kegiatan Tadarus Pancasila sesi pemikiran Romo Nicolaus Driyarkara (1913-1967). Tadarus yang diadakan secara live streaming di akun Facebook milik Syaiful Arif ini merupakan tradisi yang dikembangaknnya sejak tahun 2019. Dalam beberapa sesi ke depan, Arif akan mengkaji pemikiran Romo Driyarkara tentang Pancasila.
Menurut Arif, Romo Driyarkara merupakan salah satu filsuf Pancasila yang intens menulis Pancasila, sejak akhir masa Orde Lama hingga awal masa Orde Baru. Maka pemikiran Pancasila Driyarkara bisa dibagi ke dalam dua periode, yakni periode pra-1965 dan pasca-1965. Di periode pra-1965, Romo yang namanya diabadikan menjadi nama Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta ini menulis tentang Pancasila dan religi. Tulisan tersebut ia sampaikan pada Seminar Pantjasila I pada 16-21 Februari 1959 di Yogyakarta. Sedangkan di periode pasca-1965, Driyarkara banyak menulis tentang ideologi Pancasila dan hakikat manusia Pancasila.
Di Tadarus Pancasila pada 2 Februari, Syaiful Arif mengupas satu bahasan dalam tulisan Driyarkara tentang Pancasila dan religi, yakni Pancasila sebagai hukum kodrat manusia. Dalam pembahasan ini, Driyarkara memahami Pancasila sebagai nilai universal yang melampaui bangsa dan negara. Ia menyebut Pancasila sebagai hukum kodrat dari manusia sebagai manusia (qua talis). Bukan hanya manusia Indonesia.
“Hukum kodrat yang dimaksud ialah ‘ada bersama dengan cinta kasih’ (das liebendes mit-Sein). Artinya, manusia itu secara kodrati, ada dalam kebersamaan. Baik kebersamaan dengan alam jasmaniah, yang diolah menjadi kebudayaan. Maupun ada bersama dengan manusia lain. Dan tali kebersamaan itu ialah cinta kasih, yang disebut Driyarkara sebagai Ekasila dari Pancasila”, demikian penjelasan Arif.
Menurut Arif, hukum kodrat manusia ini yang menjadi pijakan pertama Driyarkara dalam menganalisa Pancasila. Oleh karena itu, ia tak berangkat dari sila pertama, Ketuhanan YME, melainkan sila kedua, Perikemanusiaan, karena ada bersama dengan cinta kasih ialah hakikat dari sila Perikemanusiaan.
Perikemanusiaan ini memiliki banyak dimensi. Pada level geo-kultur, ia membentuk bangsa. Itulah mengapa (sila) Kebangsaan juga merupakan hukum kodrat. Pada level persona, ia melahirkan hak asasi manusia yang harus dipenuhi demi penegakan kemanusiaan tersebut. Serta pada level global, ia melahirkan internasionalisme; persaudaraan antar-bangsa. Soal internasionalisme ini, Driyarkara mengacu pada gagasan Sukarno pada 1 Juni 1945.
Demi merawat hukum kodrat; hukum yang telah ditentukan oleh alam agar manusia sesuai dengan “nature/culture” kemanusiaan. Maka perikemanusiaan harus diamalkan secara khusus dalam kehidupan ekonomi. Itulah makna sila kelima, Keadilan Sosial. Dengan demikian, menurut Driyarkara, keadilan sosial merupakan pengkhususan dari perikemanusiaan. Untuk mewujudkan hal ini, dalam tataran masyarakat dan negara; diperlukan demokrasi. Artinya, demokrasi ialah sistem politik yang menjamin terwujudnya hukum kodrat manusia tersebut.
“Lalu dimana letak sila Ketuhanan? Mengapa Driyarkara tidak berangkat dari sila utama tersebut. Untuk hal ini, Sang Romo punya dua alasan. Pertama, Driyarkara berangkat dari realitas jasmaniah manusia, sebab hal itu yang manusia alami dalam hidupnya. Ini juga disebabkan oleh pendekatannya yang fenomenologis. Kedua, karena melalui kehidupan manusiawi itulah, manusia bertuhan”, demikian papar Arif.
Arif lalu melanjutkan, menarik karena Driyarkara yang merupakan Romo Katolik, menggunakan serat Suluk Wujil, karangan Wali Islam abad ke-15, yakni Sunan Bonang. Driyarkara mengutip:
“Adapena mukanira iku/marang ing sang katon.
Iya iku kabeh Rarahine/angalingi rahining Dumadi.
Rarahi kang luwih/kang katon sawegung.”
(Hadapkanlah mukamu kepada semua yang tampak.
Itulah wajah-Nya yang mahasempurna,
tersembunyi di belakang alam semesta).
Dengan demikian, dikuatkan oleh Suluk Sunan Bonang ini, Driyarkara menegaskan bahwa manusia bisa menemukan Tuhan dengan menghadapkan wajah di segala hal yang tampak, jasmaniah, manusiawi, duniawi. Ini juga menandai proses menaik, dari sila-sila kemanusiaan, menuju Ketuhanan.
“Dalam kaitan ini, Driyarkara lalu menyebut Dwisila dari Pancasila, yakni cinta kasih kepada manusia dan cinta kasih kepada Tuhan. Dan cinta kasih manusiawi itu sejatinya tersimpan dalam cinta kasih Ilahi. Itulah mengapa ia lalu menyebut cinta kasih kepada Tuhan sebagai Ekasila dari Pancasila”, demikian penutup Arif yang juga merupakan Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila ini.
Tadarus Pancasila akan diadakan setiap dua minggu sekali dengan beberapa tema tentang pemikiran Pancasila Romo Driyarkara. Untuk tadarus selanjutnya, Syaiful Arif akan mengkaji pemikiran Driyarkara tentang Pancasila dan religis. (Red)